|

Rabu, 14 September 2016

Asuransi : Tinjauan Umum


Pada bagian ini akan dipaparkan asuransi dari sudut pandang general references. Bahasan ini dikemukakan untuk memberikan gambaran keberadaan lembaga asuransi secara umum yang hampir diuraikan oleh berbagai sumber.
A.   Definisi Asuransi
Banyak sekali literatur yang selalu memulai pembahasannya dengan definisi asuransi dan cenderung berbeda redaksi dengan muatan substansi yang hampir sama persis. Model definisi tentunya didasari oleh sudut pandang yang berbeda, dari sudut hukum, ekonomi, bisnis, dan hukum Islam. Berikut beberapa definisi yang penulis maksudkan.
Pertama, menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu. Kelemahan definisi ini hanya mencakup asuransi kerugian yang berkaitan dengan benda, tanpa menyebut asuransi jiwa yang berkaitan dengan manusia. Senada dengan definisi tersebut adalah pendapat Wirjono Prodjodikoro[1] mendefiniskan, asuransi adalah suatu perjanjian di mana yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas.
Kedua, pasal 1 ayat (1) UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dengan tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberi pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Definisi ini menutupi definisi yang pertama dengan menambahkan tentang “meninggal dan hidupnya seseorang” yang mengisyaratkan adanya pengakuan terhadap asuransi jiwa.
Ketiga, Herman Darmawi mendefinisikan asuransi dari berbagai sudut pandang, yaitu ekonomi, hukum, bisnis, sosial dan matematika. Dari sudut pandang ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi risiko dengan jalan memindahkan dan mengombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keuangan (finansial). Dari sudut pandang hukum, asuransi merupakan suatu kontrak (perjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung dengan penanggung. Penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan risiko yang dipertanggungkan kepada tertanggung. Sedangkan tertanggung membayar premi secara periodik kepada penanggung. Dari sudut pandang bisnis, asuransi adalah sebuah perusahaan yang usaha utamanya menerima atau menjual jasa, pemindahan risiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan berbagi risiko (sharing of risk) di antara sejumlah nasabahnya. Dari sudut pandang sosial, asuransi adalah organisasi sosial yang menerima pemindahan risiko dan pengumpulan dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yang mungkin terjadi pada masing-masing anggota tersebut. Dari sudut pandang matematika, asuransi merupakan aplikasi matematika dalam memperhitungkan biaya dan faedah pertanggungan risiko. Hukum probabilitas dan teknik statistik dipergunakan untuk mencapai hasil yang dapat diramalkan.[2]
Definisi Herman Darmawi dapat dibentuk dalam format tabel berikut :
Sudut pandang
Objek
Teknik mencapainya
Ekonomi
Pengurangan risiko
Dengan transfer dan kombinasi
Hukum
Perjanjian pemindahan risiko
Melalui pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung dalam suatu kontrak
Bisnis
Berbagi risiko
Dengan memindahkan risiko dari individu ke lembaga penanggung risiko
Sosial
Memikul kerugian secara kolektif
Semua anggota membayar iuran kerugian yang kebetulan diderita oleh salah satu anggota
Matematika
Memperhitungkan dan mendistribusikan
Dengan perkiraan aktuarial yang didasarkan atas prinsip probabilitas

Semakna dengan definisi Herman Darmawi dari sudut sosial, A. Hasyim Ali mengkategorikan bahwa asuransi sebagai alat sosial. Ia didefinisikan sebagai alat sosial untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah yang memadai unit-unit yang terbuka terhadap risiko sehingga kerugian-kerugian individual mereka secara kolektif dapat diramalkan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh semua mereka yang bergabung.[3]
Persinggungan Islam dengan praktik bisnis modern juga menuntut batasan pendefinisian istilah, termasuk asuransi. Wahbah Zuhaili[4] memaknai kosa kata “asuransi” dengan kata at-ta’min dalam menjelaskan arti “pertanggungan”. Selanjutnya ia membagi at-ta’min menjadi dua macam, yaitu at-ta’min at-ta’awun, yaitu bentuk asuransi tolong menolong dan hukumnya boleh, dan at-ta’min bi qisth tsabit yaitu asuransi dengan pembagian tetap yang hukumnya masih diperdebatkan (kontroversial). At-ta’min jenis kedua yang cenderung bersifat komersial yang mendeskripsikan bahwa hubungan asuransi adalah hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi, tidak adanya hubungan saling memikul antarnasabah.
Husein Hamid Hasan[5] juga menggunakan kata at-ta’min sebagai padanan kata asuransi. Ia mendefinisikan sebagai akad di mana orang yang menjamin harus memberikan rasa aman kepada orang yang dijaminnya, atau kepada orang yang meminta jaminan keamanan atas benda yang dimilikinya baik harta atau kehormatan, atau dengan memberi barang pengganti yang lain ketika terjadinya suatu peristiwa atau terjadinya kehawatiran yang jelas dalam akadnya, atas dasar pembagian tetap atau penyerahan harta oleh orang yang minta jaminan kepada si penjamin.
Isa Abduh[6] pun menggunakan kata at-ta’min dalam konteks sebagai asuransi, tetapi kata at-ta’min sering digunakan, menurutnya, dalam struktur bahasa sebuah perundang-undangan. Dilihat secara harfiyah, asal-usul kata at-ta’min berasal dari kata a-mi-na yang mempunyai arti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut.
Mohd. Ma’sum Billah[7] mengartikan “pertanggungan” dengan penggunaan kata al-takaful yang bermakna share responsibilitesi, shared guarantee, responsibilities, assurance or surety (saling bertanggung jawab, saling menjamin, saling menanggung). Kata tersebut (takaful) mengandung arti musyarakat (saling atau resiprokal). Secara definitif ia memaknai takaful dengan mutual guarantee provided by a group of people living in the same society againts a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things (jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhada risiko atau bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga).
Berbeda lagi dengan Muhammad Syauqi al-Fanjari.[8] Ia menggunakan kata al-tadhamun untuk mengungkap makna tanggung jawab sosial bersama. Tetapi ia juga memaknai kata “pertanggungan” dengan at-ta’min, dan membaginya menjadi tiga macam yaitu : at-ta’min at-ta’awuniy (pertanggungan saling menolong), at-ta’min at-tijariy (pertanggungan komersial), dan at-ta’min al-hukumiy (pertanggungan pemerintah -wajib-).
Dari beberapa uraian batasan di atas, ternyata ditemukan beberapa istilah sebagai pemaknaan harfiah tentang asuransi. Kata tersebut adalah asuransi (Indonesia), insurance dan assurance (Inggris), Verzeekering (Belanda), dan kemudian dalam istilah Arab muncul at-ta’min, at-takaful, at-tadhamun. Makna harfiah cenderung sama yaitu pertanggungan dengan muatan memberi rasa aman atas risiko yang dihadapi. Hal yang membedakan adalah jika jenis asuransi yang pertama hubungan antarnasabah saling memikul beban risiko dan perusahaan asuransi sebagai fasilitator (pemegang amanah) untuk mengelola secara manajerial dan belakangan disebut at-ta’awuniy, maka jenis asuransi yang kedua adalah hubungan nasabah dengan perusahaan asuransi, yang kemudian disebut at-tijariy (komersial).
Dari definisi di atas juga pengelompokan definisi menjadi tiga kategori, yaitu (1) definisi dari segi teknis, (2) definisi dari segi hukum, dan (3) definisi dari segi fungsi. Masing-masing definisi mempunyai karakteristik masing-masing. Definisi teknis lebih menekankan asuransi sebagai lembaga bisnis terlepas dari model asuransi perdagangan atau asuransi kooperatif (ta’awuni), definisi hukum lebih menekankan pada aspek kontrak yang melibatkan beberapa pihak sehingga membentuk ikatan hukum (legally  bound) yang biasanya dituangkan dalam polis, dan definisi fungsi menekankan bahwa asuransi sebagai alat sosial yang dapat menciptakan saling menanggung, berbagai beban dan menciptakan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

B.   Unsur Asuransi
1.    Penanggung (Insurer) atau kafil (pihak yang memberi proteksi)
2.    Tertanggung (Insured) atau makful lahu (pihak yang menerima proteksi
3.    Peristiwa (Accident) atau makful ‘anhu (hal yang tidak terduga / tidak diketahui sebelumnya
4.    Kepentingan (interest) atau makful bih (sesuatu yang mungkin akan mengalami kerugian disebabkan oleh peristiwa
C.   Jenis Asuransi
Sekarang ini amat banyak sekali jenis asuransi yang tidak mungkin disebutkan dalam makalah ini, karena atas dasar persaingan pasar asuransi masing-masing perusahaan menciptakan diferensiasi produk untuk membidik segmen pasar yang belum tersentuh oleh perusahaan asuransi pesaing. Namun demikian, pada makalah ini akan dijelaskan pembagian jenis asuransi secara garis besar yang dilihat dari beberapa tinjauan, seperti dari segi badan penyelenggara asuransi, segi tujuan asuransi, segi objek asuransi.
Dari segi badan penyelenggara,  asuransi terbagi menjadi 2, yaitu (1) asuransi pemerintah (governmental insurance) dan (2) asuransi swasta (private insurance). Asuransi pemerintah diselenggarakan oleh negara melalui salah satu badan eksekutifnya sebagai layanan terhadap masyarakat. Beberapa kemungkinan alasan mengapa pemerintah menyelenggarakan asuransi, (1) sebagai layanan sosial demi kesejahteraan masyarakat, (2) stabilitasasi harga jasa asuransi, (3) ambil alih risiko yang secara teknis tidak dapat dilakukan oleh swasta. Sebaliknya asuransi swasta diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang meliputi bermacam aneka peruasuransian.
Dari segi tujuan, asuransi terbagi menjadi 2, yaitu (1) asuransi sosial (social insurance) dan asuransi khusus (special insurance). Asuransi sosial bertujuan memberi pelayanan kepada masyarakat umum sebagai keseluruhan. Intinya adalah kemanfaatan dari jasa asuransi sosial adalah untuk umum. Asuransi sosial sering diidentikan dengan asuransi pemerintah, pada hal tidak selamanya demikian. Pemerintah memang sering menyelenggarakan asuransi sosial sebut saja TASPEN, ASABRI, JAMSOSTEK, Jasa Raharja, Husada Bhakti.
Adapun asuransi khusus bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan khusus bagi orang-orang yang menyelenggarakan asuransi itu saja. Asuransi khusus ini dapat berbentuk mutual (bersama) atau bersifat kepemilikan. Asuransi bersama (mutual) memunyai ciri-ciri antara lain dimiliki dan dikontrol oleh pemegang polisnya. Perusahaan asuransi ini tidak mempunyai pemegang saham dan tidak ada saham yang dikeluarkan. Pemegang polis sekaligus sebagai penanggung dan tertanggung. Pejabat yang menjalankan polis diangkat oleh para pemegang polis, tujuan organisasi ini bukan mengejar laba semata tetapi menyediakan asuransi dalam harga pokok. Sedangkan asuransi kepemilikan dimiliki oleh satu atau sekelompok orang dengan tujuan mengejar laba dengan memberikan jasa pada orang lain.
Perbedaan tujuan asuransi ini mempengaruhi asas dan metode pelaksanaan pertanggungan. Asuransi sosial berlandaskan pada solidaritas sosial dan kesetiakawanan serta mendahulukan prinsip sosial atas kepentingan pribadi yang melandasi asuransi khusus. Selain itu asuransi sosial bersifat wajib, sementara asuransi khusus bersifat sukarela.
Dari segi objek, asuransi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) asuransi orang (personal insurance), (2) asuransi harta kekayaan (property insurance), dan (3) asuransi tanggung jawab (liability insurance). Asuransi jenis pertama berkaitan dengan risiko-risiko orang, seperti kematian, cacat, hari tua, sakit dan sebagainya. Asuransi jenis kedua berkaitan dengan risiko-risiko yang menyangkut harta kekayaan, yaitu kerugian yang terjadi pada harta kekayaan seseorang karena misalnya kebakaran, bencana alam, dan sebagainya. Asuransi jenis terakhir meliputi pertanggungan yang menjamin kerugian-kerugian yang menimpa tanggung jawab keuangan tertanggung yang memungkikannya melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak ketiga yang menjadi tanggung jawabnya menurut hukum, seperti asuransi kecelakaan kerja, asuransi kecelakaan mobil, dan sebagainya.

Jenis Perusahaan Asuransi di Indonesia :
1.    Perusahaan Asuransi Jiwa
Ex. PT. Asuransi Bumi Asih Jaya, PT. AJB Bumi Putera
2.    Perusahaan Asuransi Kerugian / Umum
Menanggulangi kerugian karena peril yang menimpa barang atau kepentingan yang dipertanggungkan
Ex. PT. Asuransi Jasa Ind., PT. Asuransi Ekspor Ind.
1.    Perusahaan Re-Asuransi
2.    Perusahaaan Asuransi Sosial
(Taspen, Askes, Jasa Rahardja)

D.   Manfaat Asuransi
1.    Memberikan kepastian
2.    Memberi rasa aman
3.    Gotong royong (ta’awun)

E.   Pengaruh Asuransi terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi
1.    Memberi rasa aman
2.    Melindungi keluarg dari perpecahan
3.    Mengeleminasi ketegantungan
4.    Kontribusi terhadap pendidikan
5.    Kontribusi terhadap lembaga sosial
6.    Stimulasi menabung
7.    Menyediakan dana untuk investasi

F.    Prinsip Asuransi
Prinsip dasar asuransi dalam pembahasan ini dibedakan menjadi prinsip teknis dan prinsip hukum. Berikut penjelasannya :
1.    Prinsip Teknis Asuransi
Prinsip teknis asuransi pertama berkaitan dengan karakteristik yang mencirikan lembaga asuransi berbeda dengan lembaga keuangan yang lain. Ciri pokok yang melandasari asuransi adalah memikul risiko. Keberadaan asuransi adalah untuk melindungi manusia dari ancaman risiko yang tidak dapat ditentukan terjadinya dan tidak ada asuransi tanpa adanya risiko.
Hidup manusia tidak pernah lepas dari risiko yang dihadapi. Hal ini disebabkan sifat kehidupan manusia sendiri yang pada hakikatnya tidak kekal, sehingga dari sini timbul ketidakpastian yang berujung ketidaktenangan hidup. Seseorang tidak akan mengentahui kapan dirinya meninggal atau orang yang menjadi tanggungannya; pemilik rumah dekat pantai tidak dapat memastikan kapan laut akan mengalami abrasi sehingga menghanyutkan menenggelamkan tempat tinggalnya, dan sebagainya. Dengan demikian risiko yang dimaksud adalah sebagai suatu ketidakpastian yang mungkin menyebabkan suatu kerugian atau sesuatu ketidakpastian di masa datang mengenai kerugian yang mungkin dihadapi.[9]
Keberadaan asuransi sebenarnya tidak bertujuan menghilangkan risiko-risiko tersebut, tetapi bertujuan melindungi manusia dari terjadinya risiko yang tidak diinginkan dengan memprediksi terjadinya dan mendistribusikan beban finansial yang timbul akibat terjadinya risiko tersebut. Namun tidak semua risiko dapat dimintakan pertanggungan, oleh karena itu secara teknis risiko itu dibedakan sebagai berikut : [10]
a.   Risiko murni dan risiko spekulatif
Risiko murni dimaksudkan jenis risiko yang akibat terjadinya menyebabkan kerugian terhadap harta benda atau orang yang terancam risiko itu, seperti kebakaran, pencurian dan segala hal yang bila terjadi menyebabkan seseorang kehilangan sesuatu. Sedangkan risiko spekulatif yang terjadinya dapat merugikan tetapi juga bisa membawa keuntungan, seperti perubahan harga. Risiko spekulatif tidak dapat dipertanggungkan, karena hal tersebut dapat membawa ke arah perjudian.
b.   Risiko fundamental dan risiko partikular
Risiko fundamental dimaksudkan risiko yang menimpa sejumlah besar orang dan menimbulkan akibat yang sangat luas. Seperti bencana alam, perang, resesi ekonomi. Sedangkan risiko partikular hanya menimbulkan akibat pada sebagai atau beberapa orang. Karena sukarnya menghindari akibat dari risiko fundamental, akibatnya yang sangat besar, dan berada di luar usaha asuransi, maka biasanya pertanggungan dibatasi hanya pada pertanggungan risiko-risiko partikular saja.
c.    Risiko statis dan risiko dinamis
Risiko statis terjadi dalam keadaan ekonomi statis, seperti kebakaran, bencana alam. Sedangkan risiko dinamis terjadi karena perubahan ekonomi seperti perubahan permintaan konsumen, kondisi makro ekonomi mempengaruhi daya produksi dan kondisi moneter, dan kondisi ekonomi secara umum. Risiko statis termasuk risiko murni dan dapat dipertanggungkan, sementara risiko dinamis bersifat spekulatif, sehingga risiko ini tidak dapat dijadikan objek pertanggungan.
d.   Risiko perorangan, risiko harta kekayaan dan risiko tanggung jawab
Risiko perorangan adalah risiko yang mengancam seseorang yang berakibat hilangnya atau berkurangnya pendapatan orang yang bersangkutan, seperti kematian, cacat dan lain-lain. Risiko harta kekayaan adalah risiko yang bila terjadi mengakibatkan timbulnya kerugian pada harta benda seseorang seperti kebakaran, pencurian, dan sebaganya. Risiko tanggung jawab adalah risiko yang timbul dari kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain sehingga orang yang melakukan kesalahan itu harus membayar ganti rugi dan karena itu ia menjadi rugi, seperti kecelakaan kendaraan.
Risiko pada intinya dibedakan menjadi risiko finansial dan risiko non finansial. Pembedaan ini didasarkan pada risiko yang diakibatkan ketika risiko terjadi. Risiko finansial terjadi biasanya bila menimpa harta benda yang diasuransikan, sedangkan risiko non finansial terjadi bila menimpa pada meninggalnya seseorang yang diasuransikan, meskipun kompensasi pertanggungan keduanya dalam bentuk finansial yang diberikan oleh perusahaan asuransi.
Agar risiko-risiko tersebut dapat dipertanggungkan, maka ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[11] (1) kerugian potensial cukup besar, tetapi probabilitasnya tidak tinggi, sehingga membuat asuransi terhadapnya mungkin dilakukan secara ekonomis (kelayakan ekonomis), (2) probabilitas kerugian dapat diperhitungkan, (3) terdapat sejumlah besar unit yang terbuka terhadap risiko yang sama (massal dan homogen), (4) kerugian yang terjadi bersifat kebetulan atau aksidental, dan (5) kerugiannya tertentu.
Membahas risiko tidak lepas dari istilah teknis[12] yang menunjang pemahaman terhadap risiko itu sendiri. Istilah teknis tersebut antara lain chance of loss (kemungkinan kerugian) adalah frekuensi relatif kerugian jangka panjang, sedangkan loss (kerugian) adalah kerugian riil yang terjadi.
Peril merupakan sebab terjadinya risiko seperti kebakaran, kecelakaan kendaraan, pencurian, bencana alam dan berbagai sebab karena ketidakpastian. Oleh karena itu, Peril adalah sebab terjadinya ketidakpastian yang menimbulkan kerugian, dan hazard adalah sesuatu yang memperbesar kemungkinan terjadinya ketidakpastian yang menimbulkan kerugian. Sementara exposure adalah kemungkinan sebab yang melekat pada objek yang mengakibatkan peril.
Istilah hazard is acts or conditions that increase the likelihood or severity of a loss (tindakan atau kondisi yang memperbesar terjadinya risiko yang mengakibatkan kerugian). Hazard ini dibedakan menjadi dua yaitu physical hazard & moral hazard. Karena adanya hazard dapat mengakibatkan terjadinya peril.
Prinsip teknis asuransi kedua berkaitan dengan probabilitas (kebolehjadian, kemungkinan). Penanggung yang memikul risiko berbuat demikian dengan perkuraan dapat mensubstitusi kerugian sesunggunya dengan kerugian rata-rata sehingga memberikan kepastian kepada tertanggung. Karena daya yang dibayarkan untuk kerugian yang diderita tertanggung itu biasanya dikumpulkan dari para anggota kelompok sebelumnya, maka penanggung harus sanggup meramalkan kerugian dengan akurat. Premi yang dibebankan pada tertanggung harus didasarkan pada ramalan tersebut dan ramalan itu didasarkan atas taksiran probabilitas. Probabilitas diartikan sebagai ukuran kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Probabilitas dapat dinyatakan sebagai pecahan atau persentase.
Prinsip teknis asuransi ketiga berkaitan hukum bilangan besar. Hukum ini berbunyi “makin besar jumlah hal yang diselidiki, makin dekat hasilnya kepada probabilitas dasarnya atau probabiltias murni”. Perusahaan asuransi dipengaruhi oleh hukum ini. Jika hendak membuat taksiran akurat mengenai kemungkinan terjadinya sesuatu kejadian, maka perlu diamati sejumlah besar kasus.[13]

2.    Prinsip Hukum Asuransi
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian di mana pun berada.[14]
a.   Insurable Interest (kepentingan yang dapat diasuransikan)
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan menyatakan bahwa orang yang membeli polis asuransi harus mempunyai kepentingan terhadap kelangsungan barang atau orang yang diasuransikan, di mana kelangsungan barang atau orang ini memberi manfaat kepada pengambil polis dan kemusnahan barang atau orang tersebut mengakibatkan kerugian kepada pengambil polis. Jika kepentingan semacam ini tidak ada, perjanjian asuransinya tidak sah. Prinsip ini sangat penting dalam asuransi antara lain untuk menghindari asuransi dari judi, untuk menentukan jumlah kerugian yang dapat dibayar, dan untuk menghindari bahaya moral (moral hazard).
b.   Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Dalam membuat perjanjian asuransi, kedua belah pihak, penanggung dan tertanggung, harus memberikan keterangan sejujur-jujurnya. Pembeli asuransi wajib memberikan informasi kepada pihak penanggung mengenai semua fakta dan hal pokok yang ia ketahui dan yang berkaitan dengan risiko yang terhadapnya dilakukan pertanggungan. Begitu pula penanggung tidak boleh menyembunyikan keterangan pokok apapun mengenai perjanjian asuransi. Ini merupakan tuntutan yang diharuskan oleh prinsip iktikad baik sempurna. Prinsip ini penting agar peramalan risiko, penentuan besarnya ganti rugi dan premi dapat dilakukan secara cermat.
c.    Indemnity (Indemnitas)
Dalam prinsip indemnitas ditetapkan bahwa tertanggung berhak memperoleh penggantian sebesar nilai kerugian finansial riil yang dideritanya dengan syarat nilai kerugian tersebut tidak melebih jumlah pertanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi. Asuransi tidak menambah kekayaan baru kepada kekayaan seseorang yang sudah ada, tetapi asuransi hanya mengganti kerugian riil sehingga status kekayaan tersebut tetap seperti semula. Hal ini menjadi jelas sifat protektif asuransi. Prinsip indemnitas ini dapat menghindarkan asuransi dari perjudian dan kemungkinan bahaya moral. Di atas
d.   Subrogration (Subrograsi)
Prinsip subrograsi melengkapi prinsip indemnitas. Prinsip ini memberi penanggung yang telah membayar ganti kerugian, segala hak tertanggung terhadap pihak ketiga berkenaan dengan terjadinya kerugian tersebut. Sebagai contoh, jika rumah seseorang (yang telah diasuransikan) terbakar karena kelalaian tetangga yang membakar sampah, dan pihak asuransi yang telah membayar ganti rugi atas kebakaran itu berhak menagih kepada si tetangga tersebut (yang membakar sampah sehingga mengakibatkan kebakaran rumah tertanggung).
e.   Contribution (Kontribusi)
Prinsip ini menetapkan bahwa apabila terdapat sejumlah polis yang berisi pertanggungan atas satu barang yang sama terhadap risiko yang sama serta kepentingan yang diasuransikan sama pula dalam semua polis itu dan semuanya berlaku waktu terjadinya risiko, maka klaim yang wajib dibayar dibagi-bagi di antara perusahaan-perusahaan yang menerbitkan polis itu atas dasar rasio jumlah pretanggungan yang ada pada masing-masing perusahaan.
f.     Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Prinsip ini menetapkan bahwa perusahaan asuransi wajib memenuhi kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian asuransi apabila risiko yang terhadapnya dilakukan pertanggungan adalah causa; proxima (sebab langsung) dari kerugian. Jika tidak ada hubungan sebab akibat yang efektif antara kerugian dan risiko yang menjadi obyek pertanggungan, maka pemegang polis tidak berhak atas klaim asuransi.
Sebagai catatan bahwa tidak semua prinsip berlaku di semua jenis asuransi tetapi untuk prinsip indemnity (indemnitas), subrogration (subrograsi) dan contribution (kontribusi) hanya berlaku pada asuransi kerugian.



[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1987), hlm. 1.
[2] Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 2-3.
[3] A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hlm. 169.
[4] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa ‘Adillatuhu, (Damaskurs: Dar al-Fikr, 1989), jilid V, hlm. 3415.
[5] Husein Hamid Hasan, Hukm al-Syari’ah al-Islamiyyah fi ‘Uqud at-Ta’min, (Arab Saudi: Dar al-I’tisham, t.th.), hlm. 19.
[6] Isa Abduh, at-ta’min baina al-Hilli wa al-Tahrim, (t.tp.: Maktabah al-Iqtishad al-Islamiy, t.th.), 26.
[7] Mohd. Ma’sum Billah, Principles and Praktices of Takaful and Insurance Compared, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2001), hlm. 17.
[8] Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Islam wa at-Ta’min, (Saudi Arabia: Akadz, 1984), hlm. 23.
[9] Syamsul Anwar, Asuransi dalam Pandangan Islam, hlm. 105.
[10] David L. Bickelhaupt, General Insurance, (Illinois : Irwin, 1983), 11th, hlm. 8.
[11] A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, hlm. 17-26.
[12] Ibid., hlm. 174.
[13] Ibid., hlm. 169.
[14] Nu’man A. William, Insurance : an Introduction Personal Risk Management, (Ohio: South-Western Publishing Co., 1984), hlm. 34.
Comments
0 Comments