|

Rabu, 14 September 2016

Sejarah Asuransi

Asuransi dilihat dari perspektif sejarah, pada tulisan ini, hanya ingin melihat sekelumit cikal bakal dan awal mula munculnya asuransi dengan tinjauan tiga versi sudut pandang. Sejarah asuransi yang dimaksud adalah asumsi konsep kemunculan pertama kali yang banyak dikaji dalam berbagai literatur. Versi yang dimaksud adalah versi Barat, versi Islam dan versi Indonesia, dan digunakan sebagai sebagai model pemetaan pembahasan, sehingga memudahkan untuk melacak perkembangan selanjutnya.
  • Versi Barat 
Versi Barat yang dimaksud adalah perkembangan asuransi kali pertama dipraktekkan di dunia Barat. Menurut Abdulkadir [1], asuransi mengalami perkembangan dalam tiga periode sebelum abad modern, yaitu (1) sebelum masehi, (2) abad pertengahan, dan (3) sesudah abad pertengahan. 

Abad sebelum masehi. Pada zaman kebesaran Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great (356-323 SM), seorang pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan sangat banyak uang guna membiayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes mengumumkan kepada para pemilik budak belian supaya mendaftarkan budak-budaknya dan membayar uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak dapat ditangkap dibayar dengan jumlah uang sebagai ganti rugi.

Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung. Sedangkan kesanggupan Antimenes untuk menangkap budak yang melarikan diri, atau membayar ganti kerugian karena budak yang hilang adalah semacam risiko yang dipikul oleh penanggung. Perjanjian ini mirip asuransi kerugian. Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dari uraian Scheltema dalam bukunya yang berjudul Verzkeringsrecht. 

Selanjutnya Scheltema menjelaskan bahwa pada zaman Yunani banyak juga orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada Pemerintah Kotapraja dengan janji bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga setiap bulan sampai wafatnya dan bahkan setelah wakaf diberi bantuan biaya penguburan. Jadi, perjanjian ini mirip dengan asuransi jiwa.

Perjanjian ini terus berkembang pada zaman Romawi sampai tahun ke-10 sesudah Masehi. Pada waktu itu dibentuk semacam perkumpulan (collegium). Setiap anggota perkumpulan harus membayar uang pangkal dan uang iuran bulanan. Apabila ada anggota perkumpulan yang meninggal dunia, perkumpulan memberikan bantuan biaya penguburan yang disampaikan kepada ahli warisnya. Apabila ada anggota perkumpulan yang pindah ke tempat lain, perkumpulan yang mengadakan upacara tertentu, perkumpulan memberikan bantuan biaya upacara. Bila ditelaah maka dapat dipahami sebagai peristiwa hukum permulaan dari perkembangan asuransi kerugian dan asuransi jiwa. 

Abad pertengahan. Peristiwa yang telah diuraikan sebelumnya berkembang pada abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde. Perkumpulan ini mengurus kepentingan anggota-anggotanya dengan janji apabila ada anggota yang kebakaran rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.

Bentuk perjanjian seperti ini berlanjut perkembangannya di Denmark, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya sampai abad ke-12. pada abad ke-13 dan 14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Tetapi tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui laut. Keadaan ini mulai terpikir oleh para pedagang waktu itu untuk mencari upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut. Inilah titik awal perkembangan asuransi laut.

Untuk kepentingan perjalanan melalui laut, pemilik kapal meminjam sejumlah uang dari pemilik uang dengan bunga tertentu. Sedangkan kapal dan barang muatannya dijadikan barang. Dengan ketentuan, apabila kapal dan barang muatannya rusak atau tenggelam, uang dan bunganya tidak usah dibayar kembali. Tetapi apabila kapal dan barang muatannya tiba dengan selamat di tempat tujuan, uang yang dipinjam itu dikembalikan ditambah dengan bunganya. Ini disebut bodemerij. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bunga yang dibayar itu seolah-olah berfungsi sebagai premi, sedangkan pemilik uang berfungsi sebagai pihak yang menanggung risiko kehilangan uang dalam hal terjadi bahaya yang menimbulkan kerugian. Jadi, urang hilang itu dianggap seolah-olah sebagai ganti kerugian kepada pemilik  kapal dan barang muatannya.

Karena ada larangan menarik bunga oleh Agama Nasrani yang dianggap sebagai riba, maka pola perjanjian diubah. Dalam peminjaman uang itu pemberi pinjaman tidak perlu memberikan sejumlah uang lebih dahulu kepada pemilik kapal dan barang muatannya, melainkan setelah benar-benar terjadi bahaya yang menimpa kapal dan barang muatannya, barulah dapat diberikan sejumlah uang. Tetapi pada permulaan berlayar pemilik kapal dan barang muatannya perlu menyetor sejumlah uang kepada pemberi pinjaman sebagai pihak yang menanggung. Dengan ketentuan apabila tidak terjadi peristiwa yang merugikan, maka uang yang sudah disetor itu menjadi hak pemberi pinjaman. Jadi, fungsi uang setoran tersebut mirip dengan premi asuransi. 

Model seperti penjelasan di atas merupakan permulaan perkembangan asuransi kerugian pada pengangkutan laut. Asuransi ini berkembang pesat terutama di negara-negara pantai (coastal countries) seperti Inggris, Perancis, Belanja, Jerman, Denmark, dan lain-lain. 

Sesudah abad pertengahan, bidang asuransi laut dan asuransi kebarakaran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris pada abad ke-17, kemudian di Perancis pada abad ke-18, dan terus ke Belanda. Perkembangan pesat asuransi laut di negara-negara tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut banyak berlayar melalui laut dari dan ke negara-negara seberang laut (overseas countries) terutama wilayah-wilayah jajahannya.

Pada waktu pembentukan Code de Commerce Perancis awal abad ke-19, asuransi laut dimasukkan dalam kodifikasi. Pada waktu pembentukan Wetboek van Koophandel Nederland, di sampai asuransi laut dimasukkan juga asuransi kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa. Sedangkan di Inggris, asuransi diatur secara khusus dalam Undang-undang Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang dibentuk pada tahun 1906. Berdasarkan asas konkordansi, Wetboek van Koophandel Nederland diberlakukan pula di Hindia Belanda melalui Staatblad No. 23 tahun 1847.

Menurut Syakir Sula[2] bahwa asal usul asuransi konvensional di Barat adalah dari kebiasaan masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi, dikumpulkan oleh Raja Babilonia dalam 282 ketentuan (Code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM. Kemudian berkembang menjadi praktik perjanjian Bottomry (Bottomry Contract) sekitar 1600-1000 SM yang dipraktekkan di masyarakat Yunani.

Praktik perjanjian ini selanjutnya berkembang di Roma, India, Italia, Eropa dan Amerika. Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan industri di Inggris pada tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London yang menjadi cikal bakal asuransi konvensional di Barat yang tersebar ke berbagai penjuru dunia yang seperti saat sekarang.
  • Versi Indonesia 
Pada awal mulanya asuransi jiwa di Indonesia berbentuk sangat tradisional. Ia adalah perkumpulan saling menanggung, yang secara gotong royong mengumpulkan iuran dari anggotanya secara teratur setiap bulan. Dengan iuran yang terkumpul, masyarakat tertentu membentuk dana khusus untuk mengurus pemakaman salah satu warga yang meninggal dunia.

Tradisi lain yang biasa dilakukan adalah gotong royong keluarga untuk menanggung kelangsungan hidup, pendidikan dan kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan, terutama anak yatim. Lambat laun tradisi tersebut diangkat menjadi kontrak formal oleh perusahaan asuransi yang kebetulan beroperasi di lingkungan bangsa Belanda yang berada di Indonesial.

Sementara sejarah berdirinya asuransi syariah di Indonesia baru muncul pada tahun 1994 bersamaan dengan diresmikannya PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995 di bawah holding company PT. Asuransi Takaful Indonesia. Saham kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh PT. Asuransi Takaful Indonesia yang sebagai holding company, sahamnya dimiliki oleh PT. Abdi Bangsa, PT. Bank Muamalat Indonesia, ormas-ormas Islam, dan pengusaha muslim. [4] Meskipun tidak sepesat counterpart-nya -bank syariah-, tidak dipungkiri bahwa hingga sekarang asuransi syariah -Takaful- cukup punya andil dalam mengembangkan usaha perasuransian di Indonesia.
  • Versi Islam
Asuransi mulai dikenal di kalangan umat Islam hanya pada zaman modern dan tidak mempunyai bentuk serupa di antara jenis kontrak klasik. Asuransi telah menimbulkan banyak kontroversi di kalangan ahli hukum Islam, salah satunya karena mencakup tingkat gharar yang sangat tinggi, tetapi meskipun kontroversi, kini asuransi banyak digunakan pada perbankan dan keuangan Islam.[5] Terlepas dari hal tersebut, dari sudut sejarah ada yang menunjukkan bahwa asuransi yang muncul pada masa modern mempunyai persamaan dengan ‘aqilah yang muncul pada masa pra Islam. ‘Aqilah berarti pihak yang membayar ganti kerugian atau uang darah. Praktek aqilah (clan of the murderers) membayar 1/3 atau lebih uang darah (blood-money atau diyat) dalam kasus pembunuhan. [6] 

Institusi ‘aqilah, menurut Susan Reyner, memberikan pedoman terhadap bisnis asuransi di dunia modern sekarang. Pertama, asuransi pada dasarnya adalah usaha kooperatif untuk saling menolong dan saling memberi rasa aman. Ia seharusnya didesain ketika tujuan  pembayaran ganti kerugian yang dilakukan bersama dapat memenuhi derita yang dilakukan oleh individu anggota perkumpulan. Praktek ini tidak berhubungan dengan asuransi sebagai industri yang dibangun berdasarkan profit oriented dan bergerak di sekotr bisnis dan komersial. 

Kedua, usaha kooperatif atas dasar mutual seharusnya tidak digunakan sebagai alat penciptaan modal untuk tujuan industrialisme. Modal yang terkumpul hendaknya diinvestasikan pada jalur yang diperbolehkan. Ketiga, kasus ganti kerugian dan kewajiban keuangan secara hukum dibedakan dari kerugian yang diderita oleh individu, yang tidak melibatkan orang lain.

Model lain tentang kajian sejarah asuransi dalam pemikiran Islam dimulai sejak Ibn ‘Abidin (1784-1836)[7], seorang ulama beraliran Hanafiyah, dalam bukunya Hasyiyah Ibn ‘Abidin, bab al-jihad, pasal isti’man al-kafir, yang menulis :
“Bahwa telah menjadi kebiasaan bilamana para pedagang menyewa kapal dari seorang harbiy, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untuk seorang harbiy yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah (premi asuransi), dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang berada di kapal yang disewakannya itu, bilamana musnah karena kebakaran, atau kapal tenggelam, atau dibajak dan sebagainya, maka penerima premi asuransi itu menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Penanggung itu mempunyai wakil yang mendapat perlindungan (musta’man) yang dinegeri kita berdiam di kota-kota pelabuhan negara Islam atas seizin penguasa. Si wakil tersebut menerima uang premi asuransi dari para pedagang itu, dan bilamana barang-barang mereka tertimpa peristiwa yang disebutkan di atas, dia (si wakil)-lah yang membayar kepada para pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar jumlah yang pernah diterimanya.
Kemudian Ibn ‘Abidin juga menyatakan “yang jelas tidak boleh bagi si pedagang menggambil uang pengganti dari barang-barangnya yang telah musnah itu, karena yang demikian itu iltizamu ma lam yalzam”. Dengan ungkapan tersebut, Ibn ‘Abidin dianggap orang pertama di kalangan fuqaha yang membicarakan masalah asuransi.

[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1-5.
[2] Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) : Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 296, yang mengutip (1) Clayton G, Brithis Insurance, (London: Elek Book, 1971), hlm. 21-23, (2) Rispler Vardit, Insurance in the World of Islam, (USA: UMI, 1985), hlm. 15, dan (3) The World Book Encyclopaedia, (London: World Book Inc., 1992), Vol. 12, hlm. 343-344. Ketiganya dikutip dari Mohd. Ma’sum Billah, Principles and Praktices of Takaful and Insurance Compared, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2001), hlm. 11-15.
[3] Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, hlm. 226.
[4] Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami, 1996), hlm. 241.
[5] Frank E. Vogel & Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, Terj. M. Sobirin Asnawi, dkk., (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 181-185.
[6] Liaquat Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell, Dyal Sing Trust Library, 1991), hlm. 380-181.
[7] Ali Yafie, “Asuransi dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, No. 2/VIII/1996, hlm. 5.
Comments
0 Comments