Asuransi
dilihat dari perspektif sejarah, pada tulisan ini, hanya ingin melihat
sekelumit cikal bakal dan awal mula munculnya asuransi dengan tinjauan tiga
versi sudut pandang. Sejarah asuransi yang dimaksud adalah asumsi konsep
kemunculan pertama kali yang banyak dikaji dalam berbagai literatur. Versi yang
dimaksud adalah versi Barat, versi Islam dan versi Indonesia, dan digunakan
sebagai sebagai model pemetaan pembahasan, sehingga memudahkan untuk melacak
perkembangan selanjutnya.
- Versi Barat
Versi
Barat yang dimaksud adalah perkembangan asuransi kali pertama dipraktekkan di dunia
Barat. Menurut Abdulkadir [1], asuransi mengalami perkembangan dalam
tiga periode sebelum abad modern, yaitu (1) sebelum masehi, (2) abad
pertengahan, dan (3) sesudah abad pertengahan.
Abad sebelum masehi. Pada zaman kebesaran Yunani di bawah
kekuasaan Alexander The Great (356-323 SM), seorang pembantunya yang
bernama Antimenes memerlukan sangat banyak uang guna membiayai
pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes mengumumkan
kepada para pemilik budak belian supaya mendaftarkan budak-budaknya dan
membayar uang tiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya, Antimenes
menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan diri, maka dia akan
memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak dapat ditangkap
dibayar dengan jumlah uang sebagai ganti rugi.
Apabila ditelaah dengan teliti, uang
yang diterima oleh Antimenes dari pemilik budak itu adalah semacam premi
yang diterima dari tertanggung. Sedangkan kesanggupan Antimenes untuk
menangkap budak yang melarikan diri, atau membayar ganti kerugian karena budak
yang hilang adalah semacam risiko yang dipikul oleh penanggung. Perjanjian ini
mirip asuransi kerugian. Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dari uraian
Scheltema dalam bukunya yang berjudul Verzkeringsrecht.
Selanjutnya Scheltema menjelaskan bahwa
pada zaman Yunani banyak juga orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada
Pemerintah Kotapraja dengan janji bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga
setiap bulan sampai wafatnya dan bahkan setelah wakaf diberi bantuan biaya
penguburan. Jadi, perjanjian ini mirip dengan asuransi jiwa.
Perjanjian ini terus berkembang pada
zaman Romawi sampai tahun ke-10 sesudah Masehi. Pada waktu itu dibentuk semacam
perkumpulan (collegium). Setiap anggota perkumpulan harus membayar uang
pangkal dan uang iuran bulanan. Apabila ada anggota perkumpulan yang meninggal
dunia, perkumpulan memberikan bantuan biaya penguburan yang disampaikan kepada
ahli warisnya. Apabila ada anggota perkumpulan yang pindah ke tempat lain,
perkumpulan yang mengadakan upacara tertentu, perkumpulan memberikan bantuan
biaya upacara. Bila ditelaah maka dapat dipahami sebagai peristiwa hukum
permulaan dari perkembangan asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Abad pertengahan. Peristiwa yang telah diuraikan
sebelumnya berkembang pada abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang
mempunyai profesi sejenis membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde.
Perkumpulan ini mengurus kepentingan anggota-anggotanya dengan janji apabila
ada anggota yang kebakaran rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang
yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota.
Perjanjian ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi
kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini berlanjut
perkembangannya di Denmark, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya sampai abad
ke-12. pada abad ke-13 dan 14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat.
Tetapi tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui
laut. Keadaan ini mulai terpikir oleh para pedagang waktu itu untuk mencari
upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut.
Inilah titik awal perkembangan asuransi laut.
Untuk kepentingan perjalanan melalui
laut, pemilik kapal meminjam sejumlah uang dari pemilik uang dengan bunga
tertentu. Sedangkan kapal dan barang muatannya dijadikan barang. Dengan
ketentuan, apabila kapal dan barang muatannya rusak atau tenggelam, uang dan
bunganya tidak usah dibayar kembali. Tetapi apabila kapal dan barang muatannya
tiba dengan selamat di tempat tujuan, uang yang dipinjam itu dikembalikan
ditambah dengan bunganya. Ini disebut bodemerij. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa bunga yang dibayar itu seolah-olah berfungsi sebagai premi,
sedangkan pemilik uang berfungsi sebagai pihak yang menanggung risiko
kehilangan uang dalam hal terjadi bahaya yang menimbulkan kerugian. Jadi, urang
hilang itu dianggap seolah-olah sebagai ganti kerugian kepada pemilik kapal dan barang muatannya.
Karena ada larangan menarik bunga oleh
Agama Nasrani yang dianggap sebagai riba, maka pola perjanjian diubah. Dalam
peminjaman uang itu pemberi pinjaman tidak perlu memberikan sejumlah uang lebih
dahulu kepada pemilik kapal dan barang muatannya, melainkan setelah benar-benar
terjadi bahaya yang menimpa kapal dan barang muatannya, barulah dapat diberikan
sejumlah uang. Tetapi pada permulaan berlayar pemilik kapal dan barang
muatannya perlu menyetor sejumlah uang kepada pemberi pinjaman sebagai pihak
yang menanggung. Dengan ketentuan apabila tidak terjadi peristiwa yang
merugikan, maka uang yang sudah disetor itu menjadi hak pemberi pinjaman. Jadi,
fungsi uang setoran tersebut mirip dengan premi asuransi.
Model seperti
penjelasan di atas merupakan permulaan perkembangan asuransi kerugian pada
pengangkutan laut. Asuransi ini berkembang pesat terutama di negara-negara
pantai (coastal countries) seperti Inggris, Perancis, Belanja, Jerman,
Denmark, dan lain-lain.
Sesudah abad pertengahan, bidang asuransi laut dan asuransi
kebarakaran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di negara-negara Eropa
Barat, seperti Inggris pada abad ke-17, kemudian di Perancis pada abad ke-18,
dan terus ke Belanda. Perkembangan pesat asuransi laut di negara-negara
tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara tersebut banyak berlayar melalui
laut dari dan ke negara-negara seberang laut (overseas countries)
terutama wilayah-wilayah jajahannya.
Pada waktu pembentukan Code de
Commerce Perancis awal abad ke-19, asuransi laut dimasukkan dalam
kodifikasi. Pada waktu pembentukan Wetboek van Koophandel Nederland, di
sampai asuransi laut dimasukkan juga asuransi kebakaran, asuransi hasil panen,
dan asuransi jiwa. Sedangkan di Inggris, asuransi diatur secara khusus dalam
Undang-undang Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang dibentuk pada
tahun 1906. Berdasarkan asas konkordansi, Wetboek van Koophandel Nederland diberlakukan
pula di Hindia Belanda melalui Staatblad No. 23 tahun 1847.
Menurut Syakir Sula[2]
bahwa asal usul asuransi konvensional di Barat adalah dari kebiasaan masyarakat
Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi,
dikumpulkan oleh Raja Babilonia dalam 282 ketentuan (Code of Hammurabi)
pada tahun 2250 SM. Kemudian berkembang menjadi praktik perjanjian Bottomry (Bottomry
Contract) sekitar 1600-1000 SM yang dipraktekkan di masyarakat Yunani.
Praktik perjanjian ini selanjutnya
berkembang di Roma, India, Italia, Eropa dan Amerika. Sejalan dengan
perkembangan perdagangan dan industri di Inggris pada tahun 1668 M di Coffe
House London berdirilah Lloyd of London yang menjadi cikal bakal asuransi
konvensional di Barat yang tersebar ke berbagai penjuru dunia yang seperti saat
sekarang.
- Versi Indonesia
Pada awal mulanya asuransi jiwa di Indonesia
berbentuk sangat tradisional. Ia adalah perkumpulan saling menanggung, yang
secara gotong royong mengumpulkan iuran dari anggotanya secara teratur setiap
bulan. Dengan iuran yang terkumpul, masyarakat tertentu membentuk dana khusus
untuk mengurus pemakaman salah satu warga yang meninggal dunia.
Tradisi lain yang biasa dilakukan adalah gotong
royong keluarga untuk menanggung kelangsungan hidup, pendidikan dan
kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan, terutama anak yatim. Lambat laun
tradisi tersebut diangkat menjadi kontrak formal oleh perusahaan asuransi yang
kebetulan beroperasi di lingkungan bangsa Belanda yang berada di Indonesial.
Sementara sejarah berdirinya asuransi syariah di
Indonesia baru muncul pada tahun 1994 bersamaan dengan diresmikannya PT.
Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995 di
bawah holding company PT. Asuransi Takaful Indonesia. Saham kedua perusahaan
tersebut dimiliki oleh PT. Asuransi Takaful Indonesia yang sebagai holding
company, sahamnya dimiliki oleh PT. Abdi Bangsa, PT. Bank Muamalat
Indonesia, ormas-ormas Islam, dan pengusaha muslim. [4] Meskipun tidak sepesat counterpart-nya
-bank syariah-, tidak dipungkiri bahwa hingga sekarang asuransi syariah
-Takaful- cukup punya andil dalam mengembangkan usaha perasuransian di
Indonesia.
- Versi Islam
Asuransi
mulai dikenal di kalangan umat Islam hanya pada zaman modern dan tidak
mempunyai bentuk serupa di antara jenis kontrak klasik. Asuransi telah
menimbulkan banyak kontroversi di kalangan ahli hukum Islam, salah satunya karena
mencakup tingkat gharar yang sangat tinggi, tetapi meskipun kontroversi,
kini asuransi banyak digunakan pada perbankan dan keuangan Islam.[5] Terlepas
dari hal tersebut, dari sudut sejarah ada yang menunjukkan bahwa asuransi yang
muncul pada masa modern mempunyai persamaan dengan ‘aqilah yang muncul
pada masa pra Islam. ‘Aqilah berarti pihak yang membayar ganti kerugian
atau uang darah. Praktek aqilah (clan of the murderers) membayar
1/3 atau lebih uang darah (blood-money atau diyat) dalam kasus
pembunuhan. [6]
Institusi ‘aqilah, menurut Susan Reyner,
memberikan pedoman terhadap bisnis asuransi di dunia modern sekarang. Pertama,
asuransi pada dasarnya adalah usaha kooperatif untuk saling menolong dan saling
memberi rasa aman. Ia seharusnya didesain ketika tujuan pembayaran ganti kerugian yang dilakukan
bersama dapat memenuhi derita yang dilakukan oleh individu anggota perkumpulan.
Praktek ini tidak berhubungan dengan asuransi sebagai industri yang dibangun
berdasarkan profit oriented dan bergerak di sekotr bisnis dan komersial.
Kedua, usaha kooperatif atas dasar mutual seharusnya
tidak digunakan sebagai alat penciptaan modal untuk tujuan industrialisme.
Modal yang terkumpul hendaknya diinvestasikan pada jalur yang diperbolehkan. Ketiga,
kasus ganti kerugian dan kewajiban keuangan secara hukum dibedakan dari
kerugian yang diderita oleh individu, yang tidak melibatkan orang lain.
Model lain tentang kajian sejarah asuransi dalam
pemikiran Islam dimulai sejak Ibn ‘Abidin (1784-1836)[7], seorang
ulama beraliran Hanafiyah, dalam bukunya Hasyiyah Ibn ‘Abidin, bab al-jihad,
pasal isti’man al-kafir, yang menulis :
“Bahwa telah menjadi kebiasaan bilamana para pedagang menyewa kapal dari seorang harbiy, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untuk seorang harbiy yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah (premi asuransi), dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang berada di kapal yang disewakannya itu, bilamana musnah karena kebakaran, atau kapal tenggelam, atau dibajak dan sebagainya, maka penerima premi asuransi itu menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Penanggung itu mempunyai wakil yang mendapat perlindungan (musta’man) yang dinegeri kita berdiam di kota-kota pelabuhan negara Islam atas seizin penguasa. Si wakil tersebut menerima uang premi asuransi dari para pedagang itu, dan bilamana barang-barang mereka tertimpa peristiwa yang disebutkan di atas, dia (si wakil)-lah yang membayar kepada para pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar jumlah yang pernah diterimanya.
Kemudian Ibn ‘Abidin juga menyatakan “yang jelas
tidak boleh bagi si pedagang menggambil uang pengganti dari barang-barangnya
yang telah musnah itu, karena yang demikian itu iltizamu ma lam yalzam”.
Dengan ungkapan tersebut, Ibn ‘Abidin dianggap orang pertama di kalangan fuqaha
yang membicarakan masalah asuransi.
[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum
Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1-5.
[2] Syakir Sula, Asuransi
Syariah (Life and General) : Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), hlm. 296, yang mengutip (1) Clayton G, Brithis
Insurance, (London: Elek Book, 1971), hlm. 21-23, (2) Rispler Vardit, Insurance
in the World of Islam, (USA: UMI, 1985), hlm. 15, dan (3) The World Book
Encyclopaedia, (London: World Book Inc., 1992), Vol. 12, hlm. 343-344. Ketiganya
dikutip dari Mohd. Ma’sum Billah, Principles and Praktices of Takaful and
Insurance Compared, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2001), hlm. 11-15.
[3] Herman Darmawi, Manajemen
Asuransi, hlm. 226.
[4] Karnaen A.
Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha
Kami, 1996), hlm. 241.
[5] Frank E. Vogel &
Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, Terj.
M. Sobirin Asnawi, dkk., (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 181-185.
[6] Liaquat Ali Khan Niazi,
Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell, Dyal Sing Trust Library,
1991), hlm. 380-181.
[7] Ali Yafie, “Asuransi
dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul
Qur’an, No. 2/VIII/1996, hlm. 5.